Wednesday, December 5, 2012

Merek Yang Gak Taunya Udah Ekspansi Ke Luar Negeri

http://m.tribunnews.com/2012/09/24/ingin-nonton-rally-spanyol-beli-pelumas-pertamina-di-iims

Gue ini orangnya sebenernya pengamat brand juga, meskipun gak berkecimpung di dunia ini. Asyik aja mengamati perusahaan yang sedang branding dan positioning. Hehehe. Dan kemarin gue membaca tulisannya pak @yuswohady di blog personalnya bahwa ada merek-merek Indonesia yang udah ekspansi ke luar negeri.


Global Chaser

Hari jumat kemarin (30/11) saya punya kesempatan ngobrol dengan pak Redesmon Munir, Overseas Marketing Manager, Pertamina Pelumas di gedung Oil Center, Jl. Thamrin. Banyak hal kita obrolkan, tapi yang paling seru adalah cerita bagaimana Pertamina Pelumas masuk pasar luar negeri. Surprise juga, ternyata kini produk Pertamina Pelumas seperti FastronMesran, atau Prima XPsudah merambah 23 negara dari Australia hingga Afrika Selatan; dari Pakistan hingga Swiss.
Ujar pak Redes, kiprah ekspansi Pertamina Pelumas ke pasar global bisa dibilang belum lama, sekitar 5 tahun terakhir. Awalnnya, Pertamina Pelumas menggandeng SK Lubricants dari Korsel melalui co-branding, ya karena waktu itu awam sama sekali tidak memiliki pengalaman dan jaringan di pasar luar negeri. Namun setelah menggali pelajaran dari si mitra selama sekitar 2 tahun akhirnya ia mulai pede untuk memasarkan produknya ke negara-negara sasaran lain. Fastron misalnya, kini sudah ada di beberapa supermarket di Jepang atau ada di bengkel-bengkel tertentu di Australia.
Yang menarik, untuk memenuhi permintaan pelanggan korporat di luar negeri, Pertamina Pelumas bahkan sudah mulai melakukanglobal sourcing. Pelumas diproduksi di negara tujuan dan bahan bakunya dipasok dari mitra-mitra di seluruh dunia. “Kalau pelumas dalam bentuk jadi diangkut dari Indonesia ke Dubai misalnya, maka biayanya akan mahal. Karena itu agar kompetitif kita mengolah pelumas tersebut di negara tujuan dan beberapa bahan baku dipasok dari mitra-mitra terdekat,” papar pak Redes.
Hebat luar biasa! Selama ini begitu dengar Pertamina, yang ada di otak saya nggak jauh dari birokrasi berbelit dan inefisiensi, korupsi, atau tabung gas mbledug. Eeh, rupanya kini telah menjadi mutiara yang terus diasah. Saya jadi bangga Pertamina.
Beat the Giant
Pertamina Pelumas adalah salah satu contoh merek lokal hebat yang saya sebut: “global chaser”. Ia adalah role model yang bisa ditiru merek lokal lain. Untuk menjelaskan terminologi ini, ada baiknya jika kita mengacu kepada model “Beat the Giant” (lihat matriks). Model itu saya bikin untuk menggambarkan posisi dan strategi yang bisa ditempuh merek lokal dalam menghadapi merek global di pasar domestik Indonesia. Empat posisi tersebut adalah: die-hard flankerlocal challengerglobal chaser, dan national champion.
Matriks tersebut memiliki dua sumbu. Sumbu vertikal mencerminkan tingkat kepemilikan terhadap keunggulan lokal (local advantages) seperti: pengetahuan mendalam terhadap pasar lokal; kompetensi lokal yang unik; atau pemahaman terhadap budaya lokal. Sementara sumbu  horizontal mencerminkan kemampuan merek lokal dalam mengejar global best practicesseperti kemampuan di bidang manajemen, keuangan, atau teknologi yang sudah sejajar dengan raksasa-raksasa global.
Matriks: “4 Generic Strategies to Beat the Giant”
Seperti tampak dalam matriks, global chaser adalah pemain lokal yang lemah dalam hal keunikan lokal (low local advantages), tapi memiliki kapasitas manajemen, teknologi, dan keuangan yang tinggi (high capability to catch-up global best practices) sejajar dengan merek-merek global. Dengan posisi ini, seperti halnya Pertamina Pelumas, maka pilihan strategi yang bisa diambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing untuk masuk ke pasar-pasar regional/global.
Transferable Asset
Pertanyaannya, kenapa global chaser seperti Pertamina Pelumas harus masuk ke pasar regional/global? Seperti ditunjukkan oleh matriks, memang ia tidak memiliki local advantages (karena produk seperti pelumas sulit di-customized ke pasar lokal), tapi di sisi lain ia memiliki kemampuan di bidang teknologi (pengolahan pelumas), manajemen (organisasi, marketing/branding, SDM, dll.), dan kemampuan keuangan kokoh yang berkelas global.
Kemampuan yang terakhir ini merupakan aset yang sangat berharga karena bisa “dipindahkan” (transferable assets) untuk diterapkan di pasar-pasar lain di luar negeri. Karena adanya transferable assets tersebut, maka strategi global chaser untuk survive menghadapi merek global adalah melakukan ekspansi pasar ke luar negeri, tak hanya sekedar bertahan di pasar dalam negeri. Kata pepatah perang, “The best defence is a good offence.”
Selain Pertamina Pelumas, saya mencatat beberapa merek lokal yang smart menjalankan srategi global chaser ini seperti: Semen Gresik, Bio Farma, Garudafood, atau Polygon. Semen Gresik (akan berubah nama menjadi Semen Indonesia) kita tahu beberapa minggu lalu mencapai kesepakatan untuk mengakuisisi perusahaan semen di Vietnam yang memuluskan jalan baginya untuk menjadi produsen semen terbesar di Asia Tenggara. Dengan cerdas Semen Gresik memanfaatkan pengalaman berpuluh tahun memproduksi semen di dalam negeri kemudian diterapkan untuk menggarap pasar negara-negara tetangga.
Bio Farma, barangkali banyak yang tidak tahu, kini telah memasarkan produk vaksinnya di 130 negara. Ini terwujud karena Bio Farma memiliki tradisi dan kemampuan R&D berkelas dunia di bidang bioteknologi sejak 1890 sehingga meraih sertifikat dari WHO untuk memasarkan produknya ke seluruh dunia.
Garudafood lebih hebat lagi, tak hanya mengandalkan ekspor tapi sudah melakukan investasi langsung (foreign direct investment, FDI) dengan mengakuisisi perusahaan China di Xiamen. Garudafood menggunakan perusahaan ini untuk membidik pasar China sekaligus sebagai basis untuk ekspor ke negara lain.
Polygon tak mau kalah. Setelah sebelumnya menjadi “aktor utama” di balik merek-merek top dunia seperti Scott, Kuwahara, Mustang, Avanti, Kona, atau Marine melalui skema OEM (original equipment manufacturing), kini Polygon mulai membangun mereknya sendiri. Tak hanya menarget pasar dalam negeri, Polygon langsung ekspansif menggarap pasar-pasar di negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, Jepang, atau Australia.
Global chaser ini adalah karya anak bangsa yang membanggakan luar biasa. Mencermati sepak terjang mereka saya kian optimis bangsa ini akan menjadi bangsa besar. Hidup Indonesia!!!


Diskusi tentang merek-merek ini sebenernya sih udah lama. Waktu itu gue sempet ngobrol dengan @alidabdul tentang masalah inspirasi gue bergerak di bidang clothing. Gue taunya cuma Petersaysdenim yang nyata banget sponsorin festival-festival gede di luar negeri (meskipun cuma festival indie). Dan ternyata Cak Alid ternyata mengeluarkan berbagai merek yang emang udah gede banget di luar negeri. Gue udah lupa detil merek-mereknya apa, tapi itu membuka mata gue bahwa ada merek-merek Indonesia yang patut dibanggakan.

Sebenernya sulit juga sih kalo kita mengecek apa yang terjadi di negara lain yang notabene kita gak hidup di negara tersebut. Jadi kita gak tau apa ada merek-merek Indonesia lagi ekspansi besar-besaran di sana.

Contohnya aja film deh. Kan sekarang lagi booming fim dan drama Korea, apa orang Korea tau kalo Indonesia udah liat film yang dia bintangin? Gue yakin sih mereka pada gak tau. Tapi kalo melihat perkembangannya sekarang dengan banyaknya para penggerak ombak Hallyu (baca boyband dan girlband) yang datang ke Indonesia maka bisa dipastikan sebagian orang Korea tau kalo publik Indonesia banyak yang suka banget sama Hallyu.

Atau mungkin contoh nyata yang gue alamin adalah film Thailand, dengan bermunculan artis-artis muda baru macam Nattasha Nauljam, dengan geng Suck Seed-nya yang ternyata dilabeli sama persatuan 3 label besar Thailand, GTH. Atau aktris cantik yang gue lupa namanya jadi bintang utama di A Little Thing Called Love sudah mulai banyak fans di Indonesia. Apakan publik Thailand tau?

Ingat loh, Indonesia memiliki 250juta penduduk. Bayangkan aja semua orang di Indonesia memiliki produk Orange Cake Creative. Misalnya yang beli 100juta aja deh dikali 50ribu sama dengan 5000.000.000.000. Wow itu digitnya ada 12 nomer, jadi 5 bilyar rupiah kan? Gue langsung jadi kaya deh hahaha. Nah begitulah orang-orang luar negeri memandang Indonesia. Apalagi kalo udah sering denger kalo Indonesia selamet dari krisis gara-gara konsumsi lokalnya tinggi sekali, kalo gak percaya liat aja di berita-berita ekonomi.

Anyway, bagaimana dengan film Indonesia? Kita dan semua publik Indonesia memang kalo gak diberitau sama media massa Indonesia gak bakal tau kalo ada fans dari luar negeri yang ternyata banyak, tapi gue yakin ada fans Nikita Willy di luar sana yang nasibnya kayak gue ngefans Nattasha yang gak pernah nulis di twitter dalam bahasa Inggris. Hahaha.

Lalu gue kemudian mencari-cari film-film Indonesia yang berpotensi banget bisa membuat efek kayak film blockbusternya Jun Ji Hyun/Gianna Jun, My Sassy Girl atau SuckSeed nya Nattasha and the gank. Jadi efeknya itu membuat semua orang jadi ngefans sama pemeran utama ceweknya yang cantiknya bukan main. Tapi ternyata adanya cuma The Raid yang notabene bintang utamanya adalah Iko Uwais. Hahaha.

Kemudian ada review bagus tentang film teenage barunya mas @rudisoedjarwo berjudul Langit Ke 7, meski gak sebombastis The Raid tapi pemerannya adalah 4 model cewek cantik yang notabene jelas baru banget di dunia akting. Jelas banget ini berpotensi sekali menimbulkan efek layaknya Suckseed atau A Little Thing Called Love. Dan Insya Alloh hari Rabu ini gue bakal nonton Langit Ke 7, mudahan aja ada Bioskop di Surabaya (di Jombang bioskopnya sudah gak kerawat jadi milih liat di Surabaya) yang masih mainin.

Intinya semua berawal dari review positif dari dalam negeri. My Sassy Girl sendiri membuat semua orang Korea pada tahun 2001 pergi ke bioskop dan mencetak box office yang sangat besar dalam sejarah perfilman Korea waktu itu. Jika saja kita lebih suka produk luar negeri, gue yakin kita bisa membuat Hallyu Wave versi Indonesia. Amin. Namun potensi itu ada kok, potensi bahwa orang Indonesia lebih suka produk dalam negerinya :))

No comments: