Sunday, July 8, 2012

The Raid


Saya pertama kali mendengar nama Iko Uwais dan Gareth Evans dari film Merantau. Beberapa orang di forum saat itu sudah menyebutkan bahwa Merantau merupakan versi Ong Bak dari Indonesia, membawa bela diri pencak silat menuju dunia. Saya tidak percaya. “Indonesia kok bikin film martial arts?” begitu pikirku saat itu. Bagi saya di negara Asia yang bisa membuat film martial arts yang bagus itu hanya Hong Kong dan Thailand. Titik. Malaysia tidak bisa. Filipina tidak bisa. Bahkan Jepang dan Korea pun tidak cukup kompeten. Lantas saya melihat Merantau dan terhenyak. Film itu tidak sebagus Ong Bak atauTom Yam Goong memang tapi… menjanjikan. Duel tangan kosong dalam lift sangat brutal dan koreografinya juga bagus! Berangkat dari sana saya menanti-nantikan proyek berikutnya dari kedua orang ini: Berandal.
Waktu berlalu dan Berandal tak kunjung dibuat. Selain sebuah teaser pendek tak ada berita apa-apa lagi mengenainya. Harapan yang membumbung tinggi mulai pupus, apakah Merantau hanya hit satu kali saja? Apakah begini saja batas dari kemampuan aksi perfilman Indonesia? Eh… entah mendadak datang dari mana sebuah film berjudul The Raid memancing respon sangat positif dari para penonton di Toronto Film Festival. Diputar sebagai film pembuka, The Raid langsung dipuja-puja oleh banyak kritikus sebagai film yang lebih superior ketimbang Merantau. Tidak hanya itu studio Amerika bahkan langsung memutuskan untuk mengedarkannya di sana tahun depan, menggandeng Mike Shinoda sebagai komposernya, dan berencana membuat remakenya!
Fantastis bukan?
Sungguh sayang penonton di Indonesia sendiri masih harus gigit jari menantikan film ini diedarkan pada bulan Maret 2012 tahun depan. Saya boleh menepuk dada karena menjadi satu dari sedikit orang beruntung yang berkesempatan menontonnya terlebih dahulu di Jogja Film Festival.
Kebanyakan kalian mestinya sudah tahu bukan premise sederhana film berjudul asli Serbuan Maut ini? Satu kelompok polisi di bawah pimpinan Jaka dikirim untuk menangkap seorang ketua geng yang duduk di lantai teratas gedung kumuh berisi para kriminal. Operasi penyusupan dan penghabisan para kriminal-kriminal itu tadinya berjalan sukses sampai di lantai enam sebelum penyergapan polisi itu ketahuan. Sekarang para pemburu berbalik menjadi yang diburu, para polisi yang tersisa di lantai enam terjebak tanpa jalan keluar di sarang makhluk-makhluk paling berbahaya di muka bumi. Bisakah mereka bertahan hidup?
Sang sutradara menyebutkan bahwa film ini merupakan sebuah homage kecintaannya pada film-film yang disyuting di satu tempat pada ruang tertutup dan ungkapan ini benar adanya. The Raid memiliki banyak kesamaan dengan Die Hard, Assault on Precinct 13, sampai District 13… atau bisa dibilang menjadi paduan ketiganya dengan cita rasa bubuhan Evans sendiri. Film ini bisa dibilang memiliki dua bagian dalam bidang aksinya: satu yang baku tembak dengan menggunakan senapan mesin dan pistol dan yang kedua adalah pertarungan dengan senjata tajam maupun tangan kosong. Dua-duanya sama seru dan menegangkannya.
Bicara soal menegangkan, The Raid hampir tidak pernah berhenti menghentak dan memompa adrenalin penonton sejak sepuluh menit pertamanya. Berbeda dengan Merantau yang awalnya masih drama yang memperkenalkan penonton pada tradisi silat Indonesia, The Raid langsung “BANG!”, “DOR!”, dan “BOOM!”. Koreografi dan tingkat kekerasan dalam film ini pun jauh – jauh lebih brutal ketimbang kebanyakan film martial art yang saya tonton. Jangan heran melihat cipratan darah di mana-mana berikut jeritan kesakitan orang-orang yang dihajar oleh Iko Uwais.
Bicara soal koreografi dan sinematografinya saya mau mengucapkan salut kepada trio Iko Uwais, Yayan Ruhian sampai Gareth Evans. Iko dan Yayan sering berdiskusi dalam menciptakan koreografi dalam film ini dan banyak – banyak sekali adegan pertarungan tangan kosong di film ini yang membuatku terperangah. Faktanya adalah hampir setiap kali Iko berhasil membunuh musuh, seluruh theater gempar dengan kata-kata “Oh Tuhan!“, “Wuah… sakit tuh orang!” lantas disambung dengan tepuk tangan kekaguman. Evans benar-benar mahir menangkap dan mengedit koreografi pertarungan tersebut menjadi satu adegan film yang menakjubkan! Kalian pikir trailer yang kalian tonton keren? Well… percaya atau tidak filmnya lebih keren lagi!
Sayangnya di luar adegan aksi, Iko Uwais masih belum baik aktingnya. Beberapa kali pengucapan dialognya masih terasa kaku. Begitu juga beberapa aktor pendukung macam Joe Taslim dan Donny Alamsyah. Akting kebanyakan mereka terbilang biasa-biasa saja, sesuatu yang masih bisa saya maafkan karena ini bukan film drama. Toh satu sosok hadir menjadi antagonis apik di film ini: Ray Sahetapy. Kendati ia tidak jago-jago amat dalam bertarung bela diri; pria satu ini memang layak jadi big boss gedung kriminal ini! Gareth Evans beruntung bahwa film-film martial art-nya masih didukung artis berkelas. Ingat bukan kalau di Merantau dulu ada Christine Hakim?
So my verdict is… The Raid merupakan pengalaman pertama saya menonton sebuah film di festival bersama crowd yang luar biasa fanatiknya. Terima kasih kepada Jogja Film Festival untuk memberiku kesempatan menonton film ini! Terima kasih juga untuk Gareth Evans akan film luar biasa ini! Dan terima kasih Iko dan Yayan atas koreografi martial arts terbaik yang pernah saya tonton dekade ini!
Score: A
Movie Details
Director: Gareth Evans
Cast: Iko Uwais, Donny Alamsyah, Yayan Ruhian, Ray Sahetapy, Joe Taslim
Running Time: 101 Minutes
Artikel lain yang berhubungan dengan The Raid: Perjuangan Menonton The Raid dan 5 Alasan Menonton The Raid 

No comments: