Wednesday, July 11, 2012

Alice In Wonderland


Kisah Alice’s Adventure in Wonderland dan Through the Looking Glass karya Lewis Caroll’s sudah berusia lebih dari satu abad tetapi masih dianggap sebagai salah satu karya literatur yang penting hingga kini. Entah sudah berapa film yang mengangkat kisah ini, yang paling terkenal di antaranya mungkin film animasi karya Studio Disney di tahun 1951 dulu. Ketika wacana untuk menggarap lagi Alice in Wonderland dalam versi live-action bercampur animasi CG di bawah arahan Tim Burton, saya langsung memasukkan film tersebut pada daftar film yang harus ditonton tahun ini. Tambahan lagi Mad Hatter bakalan diperankan oleh salah seorang aktor paling berbakat generasi ini: Johnny Depp.
Film ini bisa dibilang merupakan sekuel dari kisah Alice in Wonderland yang kita kenal. Setelah perjalanannya ke Wonderland dulu, Alice tidak lagi bisa mengingatnya secara pasti (wajar karena dia masih anak kecil saat itu). Selama bertahun-tahun sampai dewasa ia hanya mengingat petualangannya itu saat memimpikan hal yang sama berulang-ulang. Di usianya yang ke19, Alice dilamar oleh seorang aristokrat. Alih-alih menjawab pinangannya, Alice justru melihat sosok kelinci putih yang langsung ia kejar… dan ia pun kembali masuk ke dunia Wonderland.
Akan tetapi dunia Wonderland yang ia singgahi kini tidak sama dengan dulu. Sang Red Queen yang kejam kini menguasai hampir seluruh dunia dengan mengandalkan monster Jabberwocky. Dengan menyebarkan teror dan berkuasa ala diktator, Red Queen menancapkan kuku pengaruhnya ke hampir seluruh dunia di mana pertahanan terakhir digalang oleh White Queen, adik dari Red Queen. Ketika Alice sampai di dunia itu, ia menggenapi sebuah ramalan yang mengatakan bahwa dialah pilihan yang akan mengalahkan Jabberwocky dan menghentikan rezim kejam Red Queen. Tapi apakah Alice bisa melakukannya sedangkan dia saja menganggap ia hanya mengalami mimpi buruk yang berkepanjangan?
Saya menganggap kalau langkah pendekatan yang dilakukan oleh Tim Burton untuk film ini sudah tepat. Pertama; dunia Wonderland adalah salah satu dunia paling ajaib yang tercipta dalam kata. Walaupun Wonderland sejati adalah yang menari di benak kita ketika membaca karya klasik Lewis Caroll, saya merasa bahwa sutradara Tim Burton orang yang paling tepat untuk menghidupkan fantasi itu ke layar lebar. Dan untuk itu Tim Burton memang tidak mengecewakan. Ia pernah membuatku tercengang lewat Charlie and the Chocolate Factory, dan ia melakukannya lagi lewat Alice in Wonderland. Atensinya terhadap detail mengagumkan dan setiap shoot akan Wonderland adalah sebuah makanan sedap bagi mata moviegoers sekalian. Di sisi lain, banyak yang mengatakan bahwa film ini tidak perlu ditonton dalam versi 3D untuk mengapresiasinya.
Kedua; untuk menghindari cerita yang sudah familiar di mata penonton, Tim Burton merombak dan menjadikan film ini sekuel dari karya literaturnya. Saya tahu bahwa mungkin para purist tidak setuju dengan hal ini, tetapi saya sih oke-oke saja. Asal tahu saja, karya Lewis Caroll itu disebut sebagai “literary nonsense” yang tidak memiliki awal dan akhir cerita yang jelas. Mungkin itu bisa sukses dalam bentuk tulisan tapi siapa orang yang mau nonton sebuah film tanpa juntrungan (baca: arahan) selama dua jam? Jelas bukan saya. Dengan meletakkan kisah ini sebagai sekuel, Tim Burton memiliki kebebasan mengarahkan cerita baru dalam asetnya yang paling berharga: tanah Wonderland. Ironisnya, di sini jugalah Tim Burton gagal. Seperti film-filmnya yang saya tonton sebelumnya, Burton kerap mementingkan style dibandingkan substance dari filmnya. Penonton diajak untuk berdecak kagum akan latar setting dunianya tapi hambar dari sisi ceritanya.
Bahkan para aktor-artis yang berperan dalam film ini pun tidak bisa menolong banyak. Mia Wasikowska sebagai sang Alice rasanya datar dan kurang terasah aktingnya. Lebih lagi saya kecewa melihat dia sebagai Alice yang pemurung dan kurang ceria. Bagaimana dengan Johnny Depp yang terus dikedepankan di setiap promonya? Well, to be honest, he’s still Depp… in a bizarre way. Kalau kalian menonton akting Depp di sini… ya seperti Depp di peran-peran sintingnya yang lain. Di 2003 lalu saya terhentak melihat dia sebagai Jack Sparrow. Setelah trilogi film Pirates of the Caribbean dan Charlie and the Chocolate Factory, saya rasa saya sudah kebal dengan aktingnya Depp. Pada akhirnya, saya akan meringkas penampilan Depp sebagai Mad Hatter sebagai Mr Wonka… hanya dengan tingkat keedanan yang dilipat gandakan. Bagus atau tidaknya penampilan itu tergantung dari apakah kamu fans dari Mr Depp atau tidak. Saya juga tidak terlalu sreg dengan penampilan tiap karakter lain, baik CG (Red Queen-nya Helena Bonham Carter) maupun live-action (White Queen-nya Anne Hathaway) yang sikapnya terlalu berlebihan. Ada garis batas antara karakter yang unik dan karakter yang aneh. Bukankah film ini berjudul Alice in Wonderland – bukan Bizarreland?
So my verdict is… I’ll sum Alice in Wonderland in one sentence: The world is memorable but the inhabitants are forgettable.
ScoreC+
Movie Details
Director: Tim Burton
Cast: Mia Wasikowska, Johnny Depp, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter
Running Time: 109 Minutes

No comments: