Wednesday, December 26, 2012

Beli Indonesia, Panggilan Perjuangan



Kembali ke artikel dimana kita ingin mengajak pemuda-pemudi Indonesia untuk membeli produk Indonesia. Kali ini kita bakal share artikel dari @beliindonesia sebuah gerakan kampanye untuk membebaskan diri dari produk-produk asing di Indonesia. Enjoy!

Beli Indonesia, Panggilan Perjuangan


Semarang, 23/12/2012.  Apa yang ada di benak kita melihat foto di atas?  Masihkah kita dianggap sebagai tuan rumah di negeri sendiri?  Masihkah kita merasa  berdaulat di negeri  sendiri?   Meski bagi kalangan elit negeri ini keadaan itu wajar dan tidak perlu dirisaukan, tapi bagi kita keadaan itu sangat perih dan memilukan.  Ketika kita disebut sebagai  pemilik sah semua sumber daya alam  negeri ini namun di waktu yang sama kita harus mengimport minyak yang diambil perut bumi negeri sendiri. Bahkan kita juga harus membeli  air yang diambil dari sumber di negeri kita sendiri.  Walaupun jelas-jelas    perusahaan asing yang mengeksplorasi air itu sudah menyulitkan petani-petani  kita, karena sumber mata air mereka monopoli.

Mengapa  sebagian besar  elit kita menganggap keadaa itu wajar.  “Inilah yang disebut Bung Karno dan Bung Hatta sebagai injeksi imperialis,” kata Aswandi di depan 506 pengusaha di Semarang, Minggu pagi.  Seolah-olah kita ini memang bangsa  inlander yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan bangsa lain.  Sehingga dengan mudahnya kita menyerahkan  sektor  “hajat hidup orang banyak”  negeri ini kepada bangsa-bangsa asing itu .  Bung Karno, kata Aswandi sudah memprediksi  akan terjadi penjarahan oleh bangsa asing terhadap sumber daya alam Indonesia.  Maka Bung Karno menegaskan tidak akan pernah menyerahkan sumber alam itu kepada bangsa lain  dan kita menunggu sampai anak-anak kita memiliki kemampuan untuk  menggalinya sendiri.  “Bung Hatta lebih tegas lagi, beliau mengatakan lebih baik kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan dari pada melihat Indonesia  terjajah,” ucap Aswandi mengutip proklamator  itu.

Di tangan dua proklamator itu, Indonesia menjadi bangsa hebat  dan percaya diri, dan tidak ada bangsa lain berani main-main atau merendahkan Indonesia.  Padahal jika dilihat ke dalam, Indonesia ketika itu masih “berantakan” dengan 90 persen penduduknya masih buta hurup, angkatan perang belum tertata, infrastruktur  masih amburadul.  “Kita pede-pede saja, bahkan harga diri dan kehormatan bangsa ketika itu membuat kekurangan itu tidak terlihat,”  ungkap Aswandi.  Mengapa? Karena Indonesia ketika itu dipimpin oleh pemimpin yang memilki karakter kuat (strong leader).  Maka jika hari ini polisi Malaysia tanpa beban memperkosa TKW  dan membunuh TKI,  elitnya dengan sangat ringan melecehkan  orang tua yang sangat kita hormati  serta berbagai  bentuk meremehkan dari bangsa lain dan  sikap tidak menganggap  Indonesia, maka mudah sekali  mencari penyebabnya.   “Lihat pemimpinnya,”  kata Aswandi.

Keluar dari keadaan yang sangat memilukan ini sangat mudah jika inisiatifnya muncul dari pemimpin negeri ini.  Tetapi menunggu inisiatif itu muncul membuat kita kehilangan waktu.  “Maka kita berbuat saja dengan apa yang kita yakini  bisa membangkitkan bangsa ini menjadi bangsa hebat, berprestasi dan disegani,” jelas Aswandi.  Beli Indonesia  itu adalah ikhtiar dan jihad yang  lahir dari kegelisahan  kolektif anak negeri ini  melihat  keadaan bangsa yang  semakin miris.  Memahami dominasi asing di sektor pertambangan  dan industri  besar lainnya tidak terjangkau oleh sebagian besar anak negeri ini. Sulit bagi mereka memahaminya.  Padahal  terjadinya  pemahaman,  pengertian  dan penyadaran  terhadap keadaan  Indonesia  mutlak dibutuhkan  untuk terjadinya perubahan.  “Maka kita mulai dari yang kecil yang ada di hadapan kita sehari-hari,  produk yang kita pakai,”  kata Aswandi.  Tidak mudah memang, karena setiap hari rakyat kita dicekoki  dengan hipnotis massal melalui media-media, yang merubah persepsi, membangun sikap dan membentuk perilaku mereka terhadap produk dan bangsa asing.  Tetapi harus kita lakukan!  Karena itulah yang menjadi peluang terakhir untuk membebaskan bangsa ini  sebagai bangsa berdaulat seperti yang tercantum dalam cita-cita kemerdekaan kita.

Seandainya, dulu kita lahir di tahun 1800-an ketika Diponegoro mengobarkan perangnya terhadap Belanda,  maka kita harus memilih sebagai bagian dari pejuang  pasukan Diponegoro.  Jika  dulu kita lahir dan besar di daerah Bonjol  maka kita harus ikut berjuang bersama Tuanku Imam Bonjol sebagai bagian dari pasukan Paderinya.  Sama, jika kita lahir di Sulawesi di era kerajaan Gowa maka kita harus ikut Sultan Hassanuddin mengusir Belanda.  Pun seandainya kita lahir  sebagai arek-arek Suroboyo, maka kita wajib ikut mengusir sekutu yang berniat kembali menjajah Indonesia, meskipun hanya menyandang bambu  runcing. “Itulah pejuang, selalu membela bangsanya bukan dirinya,” tegas Aswandi.  Maka ketika hari ini ada Gerakan Beli Indonesia  yang mengajak untuk membela bangsa Indonesia, maka ini adalah panggilan kepada semua anak bangsa untuk berjuang serentak  agar kita menjadi bangsa berdaulat sekaligus menguburkan mimpi  bangsa asing untuk menjajah Indonesia. (2as)

sumber

No comments: