Kembali ke artikel dimana kita ingin mengajak pemuda-pemudi Indonesia untuk membeli produk Indonesia. Kali ini kita bakal share artikel dari @beliindonesia sebuah gerakan kampanye untuk membebaskan diri dari produk-produk asing di Indonesia. Enjoy!
Beli Indonesia, Panggilan Perjuangan
Semarang, 23/12/2012. Apa yang ada di benak kita melihat foto di atas? Masihkah kita dianggap sebagai tuan rumah di negeri sendiri? Masihkah kita merasa berdaulat di negeri sendiri? Meski bagi kalangan elit negeri ini keadaan itu wajar dan tidak perlu dirisaukan, tapi bagi kita keadaan itu sangat perih dan memilukan. Ketika kita disebut sebagai pemilik sah semua sumber daya alam negeri ini namun di waktu yang sama kita harus mengimport minyak yang diambil perut bumi negeri sendiri. Bahkan kita juga harus membeli air yang diambil dari sumber di negeri kita sendiri. Walaupun jelas-jelas perusahaan asing yang mengeksplorasi air itu sudah menyulitkan petani-petani kita, karena sumber mata air mereka monopoli.
Mengapa sebagian besar elit kita menganggap keadaa itu wajar. “Inilah yang disebut Bung Karno dan Bung Hatta sebagai injeksi imperialis,” kata Aswandi di depan 506 pengusaha di Semarang, Minggu pagi. Seolah-olah kita ini memang bangsa inlander yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan bangsa lain. Sehingga dengan mudahnya kita menyerahkan sektor “hajat hidup orang banyak” negeri ini kepada bangsa-bangsa asing itu . Bung Karno, kata Aswandi sudah memprediksi akan terjadi penjarahan oleh bangsa asing terhadap sumber daya alam Indonesia. Maka Bung Karno menegaskan tidak akan pernah menyerahkan sumber alam itu kepada bangsa lain dan kita menunggu sampai anak-anak kita memiliki kemampuan untuk menggalinya sendiri. “Bung Hatta lebih tegas lagi, beliau mengatakan lebih baik kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan dari pada melihat Indonesia terjajah,” ucap Aswandi mengutip proklamator itu.
Di tangan dua proklamator itu, Indonesia menjadi bangsa hebat dan percaya diri, dan tidak ada bangsa lain berani main-main atau merendahkan Indonesia. Padahal jika dilihat ke dalam, Indonesia ketika itu masih “berantakan” dengan 90 persen penduduknya masih buta hurup, angkatan perang belum tertata, infrastruktur masih amburadul. “Kita pede-pede saja, bahkan harga diri dan kehormatan bangsa ketika itu membuat kekurangan itu tidak terlihat,” ungkap Aswandi. Mengapa? Karena Indonesia ketika itu dipimpin oleh pemimpin yang memilki karakter kuat (strong leader). Maka jika hari ini polisi Malaysia tanpa beban memperkosa TKW dan membunuh TKI, elitnya dengan sangat ringan melecehkan orang tua yang sangat kita hormati serta berbagai bentuk meremehkan dari bangsa lain dan sikap tidak menganggap Indonesia, maka mudah sekali mencari penyebabnya. “Lihat pemimpinnya,” kata Aswandi.
Keluar dari keadaan yang sangat memilukan ini sangat mudah jika inisiatifnya muncul dari pemimpin negeri ini. Tetapi menunggu inisiatif itu muncul membuat kita kehilangan waktu. “Maka kita berbuat saja dengan apa yang kita yakini bisa membangkitkan bangsa ini menjadi bangsa hebat, berprestasi dan disegani,” jelas Aswandi. Beli Indonesia itu adalah ikhtiar dan jihad yang lahir dari kegelisahan kolektif anak negeri ini melihat keadaan bangsa yang semakin miris. Memahami dominasi asing di sektor pertambangan dan industri besar lainnya tidak terjangkau oleh sebagian besar anak negeri ini. Sulit bagi mereka memahaminya. Padahal terjadinya pemahaman, pengertian dan penyadaran terhadap keadaan Indonesia mutlak dibutuhkan untuk terjadinya perubahan. “Maka kita mulai dari yang kecil yang ada di hadapan kita sehari-hari, produk yang kita pakai,” kata Aswandi. Tidak mudah memang, karena setiap hari rakyat kita dicekoki dengan hipnotis massal melalui media-media, yang merubah persepsi, membangun sikap dan membentuk perilaku mereka terhadap produk dan bangsa asing. Tetapi harus kita lakukan! Karena itulah yang menjadi peluang terakhir untuk membebaskan bangsa ini sebagai bangsa berdaulat seperti yang tercantum dalam cita-cita kemerdekaan kita.
Seandainya, dulu kita lahir di tahun 1800-an ketika Diponegoro mengobarkan perangnya terhadap Belanda, maka kita harus memilih sebagai bagian dari pejuang pasukan Diponegoro. Jika dulu kita lahir dan besar di daerah Bonjol maka kita harus ikut berjuang bersama Tuanku Imam Bonjol sebagai bagian dari pasukan Paderinya. Sama, jika kita lahir di Sulawesi di era kerajaan Gowa maka kita harus ikut Sultan Hassanuddin mengusir Belanda. Pun seandainya kita lahir sebagai arek-arek Suroboyo, maka kita wajib ikut mengusir sekutu yang berniat kembali menjajah Indonesia, meskipun hanya menyandang bambu runcing. “Itulah pejuang, selalu membela bangsanya bukan dirinya,” tegas Aswandi. Maka ketika hari ini ada Gerakan Beli Indonesia yang mengajak untuk membela bangsa Indonesia, maka ini adalah panggilan kepada semua anak bangsa untuk berjuang serentak agar kita menjadi bangsa berdaulat sekaligus menguburkan mimpi bangsa asing untuk menjajah Indonesia. (2as)
sumber
No comments:
Post a Comment