Inilah kita, seperti jeruk, kita segar, muda, ceria, masih suka berlari, masih suka tertawa lepas di pinggir jalan, merasakan hembusan angin sore dan memejamkan mata hanya untuk menghirup dalam-dalam udaranya nya sambil tersenyum, tanpa harus bertopeng.
Monday, August 13, 2012
Waktu dan sebuah Jeruk «
Saturday, August 11, 2012
Mengenai Harga Sebuah Art
Pernah suatu waktu gue pernah bilang kalo gue gak akan jual kaos yang ada di Orange Cake Clothing gak lebih dari 50k rupiah
It’s a reason why I decide to price my tee on website under 50k rupiahs. And usually this expensive-price was used by fans-club tee. I don’t know why.
Yak. Ini memang ada alasannya. Karena gue lebih memilih mereka bangga dengan kaos yang kita bikin daripada kaos yang lebih mahal harganya.
You know, gue kemarin kedua kalinya belanja di pasar baju. Dan gue ditawarin sebuah kaos The Avengers-Iron Man kualitas distro dengan harga cuma 25k rupiah! Wow.
Itu bahkan lebih murah dari harga yang gue tawarin. Cckckckc
Kurang lebih persis kek gini. Tapi warnanya abu-abu.
----------------
Tapi gue mikir. Persyaratannya adalah dengan minimal selusin pemesanan gue hargai 50k rupiah :D
Jadi bagaimana dengan yang pengen beli satuan?
Kemarin gue ditanya seperti itu, dan langsung gue jawab 100k!
Padahal gue waktu itu gak berani meski harga udah naik 2 kali lipat tapi belum tentu ada harga yang cocok. Soalnya dulu gue pernah nawarin ke orang sablon buat satuan di Surabaya tapi ternyata dia gak bisa minimalisir dananya. Gue dapet harga 135k waktu itu! Gilak.
Hingga akhirnya gue bertemu @teesIndonesia di Twitland. Konsep mereka jenius sekali! Seperti apa yang gue butuhin!
Harga jual mereka 85k, dan gue jual dengan 100k belum termasuk ongkir. Jadi ada profit di situ.
Tapi walaupun ada yang mesen dari temen gue dan mereka berasal dari daerah yang sama dengan gue. Gue bakal menggratiskan ongkir dengan ngorbanin keuntungan gue di toko itu :)
Gimana udah paham kan? :D
Thursday, August 9, 2012
Fitur Open Source Di Blog
Gue tau fitur ini saat melihat http://ffindo.wordpress.com dimana orang-orang bisa daftar dan posting di blog tersebut. Yak, menjadikan sebuah blog menjadi sebuah Wikipedia kecil dimana semua orang punya kesempatan untuk memposting.
That’s cool.
Tapi sayang itu Wordpress yang bisa. Gue belum nemu kayak gini di Blogger. Mungkin harus bertanya kepada seseorang.
-----------------------------------
Oh iya. Blog ini kok jadi melambat gini yak. Hmmm
Monday, August 6, 2012
The Social Network - 2010
The Social Network bukanlah The Curious Case of Benjamin Button (2008), dimana setiap penontonnya dapat memandang kagum sekaligus terhanyut atas penggunaan special effects yang terdapat di sepanjang film drama romantis tersebut. The Social Network juga bukanlah Fight Club (1999), Panic Room (2002) atau Zodiac (2007) yang mampu memberikan intensitas ketegangan yang tinggi ketika penonton menyaksikan film-film tersebut. Sama sekali tidak ada darah, adegan percintaan yang romantis maupun misteri sebuah kejahatan yang harus dipecahkan di dalam naskah cerita The Social Network. Film ini berkisah mengenai bagaimana Facebook dibentuk dan pengaruhnya pada kehidupan para penciptanya. Berpotensi membosankan, namun David Fincher berhasil membuktikan di tangan seorang jenius, naskah cerita yang memiliki premis datar dapat menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik.
Kredit keberhasilan tersebut sebenarnya tidak dapat hanya diemban oleh David Fincher secara keseluruhan. Mengadaptasi sebuah buku berjudul The Accidental Billionaires: The Founding of Facebook, A Tale of Sex, Money, Genius, and Betrayal karya Ben Mezrich menjadi sebuah naskah film yang dipenuhi oleh berbagai dialog-dialog pintar, adalah Aaron Sorkin (Charlie Wilson’s War, 2007) yang membantu Fincher dalam memenuhi pencapaian memuaskannya di The Social Network. Kerjasama Fincher dan Sorkin inilah yang kemudian membuat The Social Network menjadi sebuah film yang dipenuhi dialog namun berjalan cepat, penuh intrik dan penampilan terbaik para jajaran pemerannya.
The Social Network sendiri menggambarkan bagaimana Facebook dimulai atas dasar ketidaksengajaan yang dilakukan oleh Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg) ketika membuat sebuah situs internet dalam usahanya untuk melepaskan amarahnya pada Erica Albright (Rooney Mara), mantan pacarnya yang baru saja memutuskan dirinya malam itu. Mark tentu tidak akan menyangka situs yang dibuatnya tersebut memperoleh banyak perhatian dari seluruh mahasiswa Harvard University. Begitu besarnya perhatian yang diperoleh oleh situs buatan Mark, ia kemudian ditawari sebuah proyek untuk membuat sebuah situs jejaring sosial untuk menghubungkan setiap mahasiswa Harvard oleh Cameron dan Tyler Winklevoss (Armie Hammer dan Josh Pence). Tanpa disangka, Mark kemudian mengembangkan ide tersebut dan justru menjadikannya sebuah situs yang kelak akan dikenal sebagai Facebook.
Hal ini tentu saja membuat Cameron dan Tyler Winklevoss menjadi murka karena menganggap Mark telah mencuri ide brilian mereka. Apalagi setelah diluncurkan untuk publik, Facebook ternyata mampu meraih banyak peminat dalam waktu yang cukup singkat. Di saat yang sama, Facebook kemudian tumbuh menjadi sebuah perusahaan dengan masa depan yang cerah. Pertumbuhan Facebook sendiri kemudian mempengaruhi hubungan Mark dengan sahabatnya, Eduardo Saverin (Andrew Garfield), yang juga terdaftar sebagai salah satu pendiri Facebook. Berbagai masalah pribadi dan hukum inilah yang kemudian mewarnai Facebook dalam perkembangannya menjadi salah satu situs internet terbesar di dunia.
Menit-menit terbaik The Social Network berada pada 10 menit awal film ini, sebuah adegan percakapan antara karakter Mark Zuckerberg dengan karakter calon mantan pacarnya, Erica Albright, yang sepertinya ingin menjelaskan kepada setiap penonton film ini bahwa The Social Network adalah sebuah drama yang dipenuhi oleh dialog-dialog tajam beralur cepat serta memperkenalkan tokoh utama film ini yang digambarkan sebagai seorang yang jenius namun memiliki ‘ketidakmampuan’ dalam mengelola hubungan sosial yang baik dengan sekitarnya. Permasalahan inilah yang nantinya akan terus dieksplorasi oleh Fincher lewat karakter Mark Zuckerberg.
Naskah yang dituliskan oleh Aaron Sorkin memang fantastis. Cerita yang ia tuliskan bukan hanya mengenai proses terbentuknya Facebook dan berbagai masalah yang menimpa sang pendirinya seiring semakin populernya situs jejaring sosial tersebut. Secara lebih mendalam, The Social Network mampu menyentuh berbagai isu mengenai ambisi, harapan, persahabatan, pengkhianatan dan balas dendam di dalam perjalanan ceritanya. Yang semakin membuat naskah ciptaan Sorkin menjadi begitu mempesona adalah seluruh kisah yang ia gambarkan ia tuangkan melalui dialog-dialog yang diucapkan oleh setiap karakter di The Social Network. Hal ini juga yang menjadikan karakterisasi setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita menjadi sangat kuat dan menonjol satu sama lain.
Sayangnya, menjelang bagian akhir, kisah The Social Network perlahan terasa sebagai sebuah kisah yang melelahkan dan diisi dengan adegan-adegan yang terlalu biasa jika dibandingkan dengan adegan-adegan dari jalan cerita yang sebelumnya telah dipaparkan di bagian awal. Perhatian naskah cerita yang awalnya berpusat pada karakter Mark Zuckerberg juga terpecah kepada beberapa karakter pendukung yang sebenarnya tidak terlalu perlu untuk digambarkan secara detil. Walau begitu, secara perlahan, naskah karya Sorkin kemudian berhasil meningkatkan kembali intensitasnya untuk sebuah ending yang cukup memuaskan.
Dari departemen akting, Fincher melakukan sebuah keputusan yang sangat baik untuk memberikan peran utama di film ini kepada Jesse Eisenberg. Selain memiliki beberapa ciri fisik yang mirip dengan Mark Zuckerberg, arahan Fincher ternyata mampu membuat Eisenberg tampil cemerlang sebagai seorang yang memiliki otak brilian namun memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam bersosialisasi dengan berbagai karakter manusia yang ada di sekitarnya. Penampilan Eisenberg di The Social Network merupakan salah satu penggambaran karakter terbaik yang ada di sepanjang tahun ini.
Tidak hanya Eisenberg, sebenarnya, yang melakukan tugasnya dengan sangat baik. Jajaran pemeran pendukung lainnya juga berhasil menghidupkan setiap karakter yang mereka mainkan dan mendukung performa Eisenberg dalam menampilkan karakter Mark Zuckerberg. Yang paling menyita perhatian, mungkin, adalah aktor sekaligus penyanyi, Justin Timberlake, yang semakin membuktikan bakatnya yang terus terasah dalam dunia akting. Sebagai Sean Parker, salah seorang pendiri Napster, Timberlake tampil meyakinkan sebagai karakter yang meragukan untuk dipercaya namun memiliki visi yang cukup meyakinkan dalam dunia bisnis.
Adalah sangat mengagumkan untuk melihat The Social Network secara keseluruhan untuk kemudian berkata bahwa David Fincher mampu mengeluarkan berbagai hal terbaik dari sebuah jalinan kisah yang cenderung datar tanpa adanya intrik yang terlalu mengikat seperti yang digambarkan di dalam jalan cerita film ini. Naskah tulisan Aaron Sorkin yang berisi banyak dialog cerdas dan tajam memang sangat membantu, namun Fincher adalah kunci kesuksesan film ini. Arahannya mampu mengeluarkan kemampuan akting terbaik dari setiap pemerannya sekaligus menghidupkan jalan cerita The Social Network menjadi sebuah jalan cerita yang sangat menarik. Durasi film ini memang sedikit terlalu panjang akibat adanya beberapa adegan yang tidak terlalu perlu untuk ditampilkan, namun secara keseluruhan, The Social Network mampu berdiri sebagai salah satu film terbaik tahun ini.
Rating: 4 / 5
Tekken Blood Vengeance - 2011
Tekken adalah salah satu game 3D fighting yang paling populer semenjak kemunculannya di konsol Playstation lebih dari satu dekade lalu. Karakter-karakter seperti Jin, Heihachi, Kazuya, sampai Paul telah menjadi nama-nama yang dikenal hampir semua gamer sebagaimana nama Ryu, Ken, Sub-zero, Kyo, dan banyak karakter game fighting populer lainnya. Mengingat Tekken telah mencapai serial keenamnya (tanpa memperhitungkan beberapa entri yang tidak berkaitan dengan cerita seperti Tekken Tag Tournament) maka tak heran kalau jalan cerita dan karakter di dalamnya sudah super njelimet dan super banyak. Toh dengan sejarah yang begitu panjang di dalamnya itu juga ada peluang menggali sebuah cerita darinya. Terciptalah Tekken: Blood Vengeance.
Tentu belum hilang kenangan pahit para gamer akan film live-action Tekken yang teramat buruk itu bukan? Sepertinya Bandai Namco mengerti kekecewaan para gamer dan lantas menciptakan game ini. Saya tahu kok kalau dalam banyak kesempatan wawancara pihak Bandai Namco menyatakan bahwa game ini tak ada hubungannya dengan film live-action yang gagal itu. Saya tidak percaya. Siapa sih yang tidak hati melihat karya kebanggaan mereka dizolimi sedemikian rupa dalam bentuk layar lebar? Jelas mereka berharap menebus dosa dalam film ini bukan? Talenta yang dikumpulkan tidak main-main. Selain memanggil penulis Dai Sato (dikenal di publik Amerika sebagai penulis Cowboy Bebop), animasi dalam film ini dikerjakan oleh Digital Frontier yang menggarap animasi untuk titel Tekken 5 dan Tekken 6. Lantas bagaimanakah hasilnya?
Film ini berpusat pada seorang karakter misterius bernama Shin Kamiya yang diperebutkan oleh G Corporation dan Mishima Zaibatsu. G Corporation di bawah pimpinan Kazuya ‘memaksa’ Ling Xiaoyu untuk masuk ke sekolah yang sama dengan Shin untuk menginvestigasi mengenai cowo satu ini. Saat Xiaoyu masuk, ia bertemu dan berteman dengan seorang gadis jelita dan polos bernama Alisa. Xiaoyu tidak sadar bahwa Alisa sebenarnya adalah seorang android yang dikirim oleh Jin Kazama juga untuk memonitor Shin. Xiaoyu dan Alisa yang menyadari bahwa keduanya diperalat oleh organisasi masing-masing malahan memutuskan untuk bekerja sama. Siapakah sebenarnya Shin Kamiya itu dan kenapa Jin maupun Kazuya sangat ingin mendapatkannya?
Jalan cerita yang ditulis oleh Dai Sato ini sungguh buruk dan busuk. Sulit percaya bahwa cerita ini lahir dari orang yang sama yang pernah menggarap Cowboy Bebop. Kesalahan, bagaimanapun juga, tak boleh dibebankan kepada Sato semata sebab memang Tekken dari sananya sudah memiliki jalan cerita yang buruk. Akui saja, Ogre, True Ogre, Devil Gene, dan segala jenis elemen fantasi lainnya membuat jalan cerita Tekken sangat absurd bukan? Film ini sebenarnya memulai kisah dengan baik dengan memusatkan fokus kepada Xiaoyu dan Alisa. Penyelidikan kedua anak sekolah ini mengenai identitas Shin ditambah dengan kehidupan sekolah memberikan film Blood Vengeance nuansa yang berbeda. Tone dalam film lantas mulai berubah menjadi penuh aksi begitu Alisa menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya dan benar-benar keluar kendali begitu memasuki babak terakhir. (SPOILER) Keluarga Mishima entah muncul dari mana begitu saja dan fokus film langsung beralih pada mereka melupakan kedua protagonis utama maupun sosok Shin yang sudah dibangun susah payah sepanjang film. Penonton pun merasa diliciki dengan penyelesaian identitas Shin yang begitu mengambang.
Tapi beberapa penonton tentunya datang menonton Blood Vengeance dengan harapan adegan fightnya – bukan ceritanya kan? Untuk yang satu ini Blood Vengeance juga tidak seratus persen berhasil. (SPOILER) Pertarungan tiga sisi antara Jin, Heihachi, dan Kazuya memang menarik untuk disimak begitu juga dengan brawl antara dua vixen bersaudara Anna dan Nina. Toh di luar kedua pertempuran itu kebanyakan sisanya tidak memorable. Pertempuran klimaks antara Jin dan Kazuya dalam wujud Devil mereka malahan membuatku geleng-geleng sekaligus mengantuk. Kok malah seperti film Devilman begini? Lebih bikin pusing lagi saat Heihachi mendadak saja mengendalikan para Mokujin dan menjadi raksasa. Hah? Apakah animasinya keren? Tergantung dari apakah kalian suka animasi sempurna atau tidak. Saya pribadi tidak terlalu suka dengan animasi orang yang terlalu ‘sempurna’. Sosok-sosok ‘sempurna’ (biasanya garapan orang Square Enix, Capcom dan Namco) ini malahan membuat mereka terasa kurang manusiawi.
So my verdict is… jalan cerita yang ruwet membuat Tekken: Blood Vengeance ini mustahil disimak oleh para penonton baru. Kualitas animasinya terlihat keren bila dilihat sepintas lalu tetapi kalau ditelaah lebih jauh terlihat pergerakan-pergerakan yang kaku dan tidak manusiawi. Yah, film ini memang dibuat oleh Bandai Namco untuk para pecinta serial fighting Tekken. Dan sepertinya halnya film animasi berdasar game macam Resident Evil: Degeneration dan Final Fantasy VII: Advent Children, sulit membayangkan pasar umum bisa menikmati Tekken: Blood Vengeance ini.
Score: C-
Movie Details
Director: Youichi Mori
Cast: Maaya Sakamoto, Yuki Matsuoka, Mamoru Miyano
Running Time: 98 Minutes
sumber: http://tukangreview.com/2011/11/tekken-blood-vengeance/
Sunday, August 5, 2012
Segmentasi Oranje Eiland
Cek di https://plus.google.com/u/0/115149251181479772031
------------------------------------
Beberapa hari ini gue mikir tentang pertanyaan seseorang senior Blogger yang berpengetahuan. Sesuatu banged, ketika gue ajak dia buat join proyek Oranje Eiland :D
"Marketnya siapa?"
Iya ya. Marketnya siapa?
Schitzo Appareal, yang mengilhami gue buat bikin proyek ini menyasar para Vierrania yang otomatis fansnya Raka, yang dipanggil Cyrillers. Schitzo is Raka, Raka is Schitzo :)
Peter Says Denim dari awal menyasar para band-band indie karena tujuan awal dia emang mensupport para anak-anak non-mainstream ini buat bermusik :)
Dan proyek terbaru dari DF, dkk TOPBOMINDONESIA. Ya meski belum semenarik proyek sebelumnya (gue lupa nama proyek sebelumnya hihihi) tapi menyasar orang-orang ngefans sama couple ini (?)
Bahkan proyek sebelumnya itu nembaknya para VIPnya Big Bang. Dan sukses besar menurutku awalnya. Tapi sayangnya DF terlalu banyak milih admin di situ. Well, gue belum ngecek lagi sih :)
Jombs Clothing, orang Jogja yang kemudian nyari peruntungan di kota Jombang membuat sebuah usaha clothing yang emang bener-bener nyasar para warga Jombang.
Vandaria Saga. Mereka punya brand sendiri dan dari awal emang punya komunitas yang fanatik, hingga akhirnya Ami Raditya (eh bener kan namanya? XD) konsentrasi penuh dan hingga awal agustus ini udah ngeluarin 5 novel bareng temen-temenya.
Dan gak hanya novel, game pun disasar, komik, illustrator dan yang terbaru bakal bikin film!
--------------------------------------------------
Oranje Eiland ini kayaknya beneran proyek ego-idealis gue banged deh kayaknya. Gaya medievalnya dari Schitzo dan konsepnya dari Vandaria.
Segmentasi? Yak, setelah merenung dan merenung akhirnya gue mendapat "pencerahan".
Jadi seperti Vandaria. Gue bakal membikin iklim komunitas yang bisa menarik para fantasy addicted buat memasang ceritanya dia di Oranje Eiland.
Dan setelah itu membantu mereka dengan visual art.
Membuat ebook untuk mereka.
Dan sebagai ekspresi gue yang tertahan, gue membuat visual art tadi menjadi sebuah identitas mereka dengan clothing line :)
What a wonderful concept? Menurutmu gimana?
Sucker Punch - 2011
SUCKER PUNCH : Realitas Misi Pelarian Imajinatif
Quotes:
Sweet Pea: And finally. This question. The mystery of whose story it will be, of who draws the curtain. Who is it that chooses our steps in a dance? Who drives us mad, flashes us with whips, crowns us with victory when we survive the impossible? Who is it that tells all these things?
Storyline:
Gadis muda bernama Baby Doll terpaksa dikurung dalam RS mental oleh ayah dirinya yang penyiksa untuk menjalani serangkaian pemeriksaan dalam 5 hari. Baby Doll lantas bertemu 4 gadis lainnya yaitu Sweet Pea, Rocket, Blondie, Amber dan menciptakan dunia fantasi sendiri untuk berencana keluar dari sana. Realitas antara kenyataan dan khayalan pun semakin samar dimana mereka membutuhkan 5 jenis barang untuk kabur sebelum High Roller yang ditakutkan datang menjalankan tugasnya.
Nice-to-know:
Film pertama Zack Snyder yang tidak didasarkan pada remake/adaptasi manapun juga.
Cast:
Aktris muda Australia ini mulai terkenal lewat Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events (2004), Emily Browning berperan sebagai Baby Doll
Baru saja tampil dalam Limitless (2011), Abbie Cornish bermain sebagai Sweet Pea
Jena Malone sebagai Rocket
Vanessa Hudgens sebagai Blondie
Jamie Chung sebagai Amber
Carla Gugino sebagai Dr. Vera Gorski
Oscar Isaac sebagai Blue Jones
Director:
Feature film pertama Zack Snyder adalah Dawn of the Dead (2004).
Comment:
Bagi kalangan moviegoers seluruh dunia rasanya setuju jika menganggap Zack Snyder adalah sutradara revolusioner yang dimiliki Hollywood. Visualisasi yang ciamik selalu menjadi menu utama di setiap karya-karyanya, sebut saja 300 yang melegenda itu atau Watchmen yang sama-sama diangkat dari novel grafis. Tidak jika jika sebagian besar bujet dihabiskan untuk menata departemen yang satu ini demi kepuasan mata tentunya.
Plot ceritanya merupakan salah satu inovasi yang patut diacungi jempol. Bukan hanya originalitasnya tetapi juga keberaniannya memadukan fiksi, drama dan action sekaligus. Permasalahannya adalah Snyder tidak berhasil membuat penonton terintrusi ke dalam jalinan kisahnya yang seakan berpijak di antara khayalan dan kenyataan. Hal ini menyebabkan ketidakpedulian terhadap karakter mana yang survive or dead in the end.
Meski demikian para ladies disini sangat memanjakan mata. Browning, Cornish, Hudgens, Chung, Malone masing-masing memancarkan pesona yang berbeda-beda. Blonde, brunette, feminin, tomboy silakan tentukan pilihan anda. Kemahiran Baby Doll, Sweet Pea, Rocket, Blondie, Amber dalam “beraksi” disini sangat menyenangkan untuk disaksikan walaupun nyaris tidak ada kedalaman karakter yang mampu membangkitkan emosi.
Sesaat bisa jadi anda merasa lost di bagian pembukaan dan pertengahan film karena merasa tidak terkoneksi dengan visi Snyder. Feeling yang hampir sama dengan Watchmen dimana serangkaian adegan spektakuler seakan bersifat ambigu. Memasuki ending setidaknya segala perasaan tersebut sedikit tergantikan oleh antusiasme. Namun twist yang disiapkan di akhir film mungkin tidak terlampau sukar diterka oleh anda yang sudah familiar dengan kejutan-kejutan sejenis. Well tried!
Sucker Punch memang semata-mata hanya berusaha menghibur penonton dengan koreografi dan sinematografi yang menakjubkan di sepanjang durasinya. Tidak lebih dan tidak kurang! Minus-minus yang disebutkan di atas kelihatannya akan mengurangi ponten anda terhadap film juga didesign untuk 3D dan IMAX ini pada akhirnya. Namun tidak ada salahnya mengikuti petualangan Baby Doll dalam menemukan peta, api, pisau, kunci sebelum menjawab misteri sendiri mengapa anda memutuskan untuk menonton yang satu ini.
Durasi:
105 menit
U.S. Box Office:
$36,381,716 till May 2011
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
sumber: http://databasefilm.blogspot.com/2011/08/sucker-punch-realitas-misi-pelarian.html